Era Ali Sadikin
Ali Sadikin yang akrab dipanggil Bang Ali, gubernur
yang berjasa dalam mengembangkan Jakarta menjadi sebuah kota metropolitan yang
modern. Jakarta mengalami banyak perubahan karena proyek-proyek pembangunan
buah pikiran Bang Ali, seperti Taman Ismail Marzuki, Kebun Binatang Ragunan, Proyek Senen, Taman Impian Jaya Ancol, Taman Ria Monas, Taman Ria Remaja, kota
satelit Pluit
di Jakarta Utara, pelestarian budaya Betawi di kawasan Condet (yang mulai
tergusur oleh pembangunan dan kini digantikan dengan Setu Babakan Jakarta
Selatan). Bang Ali juga mencetuskan pesta rakyat malam muda mudi setiap tahun
pada hari jadi kota Jakarta 22 Juni. Bersamaan dengan itu berbagai aspek budaya Betawi
dihidupkan kembali, seperti kerak telor, ondel-ondel,
lenong
dan topeng Betawi, dsb.
Bang Ali juga menyelenggarakan Pekan Raya Jakarta di Gambir Monas yang lebih
dikenal dengan nama Jakarta Fair (kini di Kemayoran), sarana
hiburan dan promosi dagang industri barang, jasa dari dalam dan luar negeri.
Ali Sadikin berhasil memperbaiki sarana transportasi, mendatangkan banyak bus
kota dan menata trayeknya, serta membangun halte bus yang nyaman.
Di bawah pimpinan Bang Ali, Jakarta
berkali-kali menjadi tuan rumah Pekan Olahraga Nasional (PON) yang
mengantarkan kontingen DKI Jakarta senantiasa menjadi juara umum.
Salah satu kebijakan Bang Ali yang berlatar
belakang Tentara
KKO, dengan pangkat terakhir Letnan
Jenderal, adalah
tokoh kontroversial saat kebijakannya mengembangkan tempat hiburan
malam dengan berbagai klab malam, mengizinkan perjudian di kota Jakarta dengan
memungut pajaknya untuk pembangunan kota, serta membangun kompleks Kramat Tunggak sebagai
lokalisasi pelacuran.
Di bawah kepemimpinannya pula diselenggarakan pemilihan Abang dan None Jakarta.
Masa jabatan Ali Sadikin berakhir pada tahun 1977, dan ia digantikan oleh
Letjen. Tjokropranolo.
Era Joko Widodo
Joko Widodo yang lebih dikenal dengan sebutan Jokowi
mewarisi keahlian bertukang kayu dari ayahnya, ia mulai pekerjaan menggergaji
di umur 12 tahun. Penggusuran yang dialaminya sebanyak tiga kali di masa kecil
mempengaruhi cara berpikirnya dan kepemimpinannya kelak setelah menjadi
Walikota Surakarta saat harus menertibkan pemukiman warga.
Dengan berbagai pengalaman di masa muda, ia
mengembangkan Solo yang buruk penataannya dan berbagai penolakan masyarakat
untuk ditertibkan. Di bawah kepemimpinannya, Solo mengalami perubahan dan
menjadi kajian di universitas luar negeri. Branding untuk kota Solo
dilakukan dengan menyetujui slogan Kota Solo yaitu "Solo: The Spirit of
Java". Langkah yang dilakukannya cukup progresif untuk ukuran
kota-kota di Jawa: ia mampu merelokasi pedagang barang bekas di Taman Banjarsari
hampir tanpa gejolak untuk merevitalisasi fungsi lahan hijau terbuka, memberi
syarat pada investor untuk mau memikirkan kepentingan publik, melakukan
komunikasi langsung rutin dan terbuka (disiarkan oleh televisi lokal) dengan
masyarakat. Taman Balekambang, yang terlantar semenjak ditinggalkan oleh
pengelolanya, dijadikannya taman.
Kedua pemimpin Jakarta tersebut adalah tokoh
fenomenal yang kontroversial tapi patut di support karena keberanian, kejujuran
dan kepedulian yang tinggi pada aspek kehidupan warganya yang berkesinambungan.
Bang Ali yang terlahir dijaman penjajahan, besar dijaman perjuangan dan
menjadikan pemimpin pejuang dijaman kemerdekaan. Menjadikan seorang dengan
ide-idenya yang kontrovesi dan keras kepala
dalam membangun Jakarta dengan seabreg permasalahannya, dengan tegas dan berani
merubah wajah Jakarta tanpa harus meninggalkan adat istiadat dan budaya
masyarakatnya. Memang terkesan nyeleneh saat melegalisir perjudian dan
pelacuran, beliau menyadari kalau masyarakat Jakarta khususnya suku Betawi
adalah Agamis, tapi hal itu tetap dijalankan karena diadakan/diperuntukan pada
prinsipnya perjudian dan pelacuran bukan untuk masyarakat Agamis Jakarta.
Begitu pula dengan Jokowi, terlahir dijaman
kemerdekaan tumbuh besar dijaman modern dan menjadikannya pemimpin reformis di
jaman globalisasi sekarang. Pemimpin yang kontroversi namun low profile; rendah
hati juga sederhana ini, dimasa dimana banyaknya ketidakberesan aparat dalam
pengabdiannya pada masyarakat, masalah kesehatan warga, lapangan kerja,
kesemerawutan pembangunan dan lalu lintas di Ibu Kota. Jokowi kerap turun
kelapangan hampir setiap harinya untuk melayani warga, begitu pula sang wakil
gubernur Basuki Tjahaja Purnama yang lebih dikenal dengan sebutan Ahok dengan
dialek layaknya anak Jakarta yang ceplas ceplos kurang basa basi, turut
melayani dengan cara membenahi kerja aparatnya dilingkungan internal untuk
lebih profesional, berjiwa sosial, bersih dari pungli dan korupsi, begitu pula dengan
departemen terkait tidak luput dari pengawasannya. Ini suatu bentuk kerja team
yang solid dan luar biasa. Walaupun belum genap setahun memimpin Jakarta,
perubahan akan manfaat kepemimpinannya sudah sangat dirasakan oleh warga DKI
Jakarta.
Saya pun ikut kembali merasakannya udara segar Jakarta
setelah era Bang Ali kini muncul Jokowi walau sebatas Aura pelayanan pada Kelurahan Bungur Kecamatan Senen Jakarta Pusat.
Di kampung Senen Kali Baru inilah tempat dimana saya menghabiskan masa kecil
hingga dewasa sampai dengan saat ini.
Referensi
: Wikipedia bahasa Indonesia & berbagai sumber.