Sore cuaca mendung menyelimuti Kota Karawang, jam
di handphoneku menunjukan waktu pukul 16:55 WIBB.
“Waduh! Uda waktunya siap-siap pulang nih..”, dalam
hati sambil berlari kecil kembali masuk kantor. Selesai merapikan file-file dan mematikan
server computer PC, kembali teringat keperluan rumah yang harus kubawa, seperti ; bekal
makanan kucing kesayangan (cincangan kepala ayam), “sregg! Masuk sudah kedalam
tas ransel.
“Pulang dengan kereta itu lebih baik”, terlintas dalam
pikiran yang spontan., karena jelas terhindar dari macet dan jalan berlubang plus
banjir bila diguyur hujan, Karawang - Bekasi. Setibanya distasiun pukul 17:20
WIBB .
“berapa mas tiket ke Bekasi?”, tanyaku.
“dua ribu lima ratus”, jawab petugas loket acuh
tak acuh.
“jam berapa berangkatnya ya?”, tanyaku kembali
sekedar ingin tahu berbasa-basi.
“bentar lagi, setengah enam”, jawab petugas loket
dengan ekspresi wajah lelah tanpa semangat.
Beginilah pelayanan yang dirasa, jauh dari keramah
tamahan apalagi sikap pelayanan profesional, mungkin karena dipandang saya
orang baru alias bukan pelanggan angkutan kereta, jelas tidak dikenali mereka,
kumencoba berpikir positif saja untuk lebih rileks.
Tak terasa sudah 3 (tiga) batang rokok mild
kuhisap sambil sesekali bercakap-cakap dengan calon penumpang lainnya yang
nampaknya lebih dahulu datang sabar menunggu. Waktu telah menunjukan pukul
18:15 WIBB. Terbayang saat masa masih kuliah dahulu, pertama kali naik kereta
di Stasiun Senen Jakarta dalam rangka liburan hari raya Idul Fitri pada
pertengahan tahun 1985 dengan tujuan kota Yogyakarta. Sesak penumpang bagaikan
ikan teri, kereta terlambat lebih dari dua jam, tapi begitulah kondisinya karena
angkutan ini memang murah meriah, apalagi untuk ukuran saya seorang mahasiswa
kala itu.
Setelah 28 tahun terlewatkan, keterlambatan kini
terulang kembali. Kereta ekonomiku akhirnya datang juga tepat pukul 18:25
WIBB., “satu jam tiga puluh lima menit, wajarlah…toh belum sampai dua jam koq
terlambatnya”, dalam hati menghibur diri.
“hup..! melompat ala prajurit memasuki gerbong
kereta, saya mengambil posisi duduk dipinggir tidak didekat jendela, demi
keamanan menghindari niat tangan-tangan jahil, seperti; lemparan batu
kejendela, tukang copet yang biasanya berkelompok sementara kita duduk terpojok
dekat jendela dijadikan target sasarannya.
Asap rokok, suasana pengap, sesak penumpang
berbaur dengan pedagang asongan; dari makanan minuman siap saji, accesoris
handphone, minyak wangi, mainan anak-anak, kaca mata plus untuk membaca diperuntukan
bagi orang separuh baya seumuran saya tak luput dijajakan mereka. Dan hal yang istimewa
bagiku bila kita jalan-jalan di mall dibandingkan dengan naik kereta ekonomi,
yakni; di mall kita harus berjalan menghampiri toko (pedagang), sementara di
kereta pedagang menghampiri calon pembeli, “pembeli adalah Raja, tanpa disadari
kita telah diperlakukan layaknya seorang Raja”. Satu hal lagi yang menarik adalah, kutemukan adanya
penumpang yang dengan nyenyak tertidur pulas tanpa terganggu oleh riuhnya suara
karoke dari pengamen, ya..sulit rasanya membedakan mana pengamen dan pengemis
karena mereka rata-rata mencari nafkah dengan jalan menjual suara.
Tanpa dirasa mata ini berbinar terhanyut
haru, sesekali bibirpun turut tersenyum letih sambil memandangi tiap sudut sisi
kehidupan pelangi dalam gerbong kereta.
“Oh..kereta ekonomiku, kau bagaikan pelangiku…penuh
warna ceria , suka tanpa duka…?”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar